Inferno: Tak Mampu Lewati Ekspektasi

 

Sang profesor cerdas, Robert Langdon, kembali lagi dalam seri petualangan yang berlatar sejarah. Kali ini setelah berpetualang dalam ranah kegerejaan dalam Angels and Demons, dan bersentuhan dengan doktrin Kristiani di Da Vinci Code, kali ini Langdon terjebak dalam suatu masalah, organisasi rahasia, dan tentu saja wanita.

Seorang profesor maniak bernama Bertrand Zobrist (Ben Foster), pecinta Dante yang beranggapan bahwa The Inferno adalah wacana tentang penghukuman umat manusia. Manusia dianggap sudah berjumlah terlalu banyak, dan maka dari itu perlu adanya pengurangan besar. Untuk itulah ia menciptakan sebuah virus yang pada suatu waktu akan meledak dan menulari semua manusia. Prof. Langdon yang saat itu sedang hilang ingatan, harus berusaha memecahkan hal tersebut. Dibantu oleh seorang dokter bernama Sienna Brooks (Felicity Jones), WHO, dan organisasi intelijen misterius, ia pun berusaha memulihkan ingatannya sambil terus berjuang menghentikan rencana jahat Zobrist.

Film seri petualangan yang diambil dari novel Dan Brown ini memang sukses mencuri perhatian sejak diluncurkan pertama kali 10 tahun yang lalu lewat film Da Vinci Code. Lewat alur cerita dalam novelnya yang thrilling serta adanya unsur sejarah yang luar biasa memukau, memang membuat karya Dan Brown ini menjadi sebuah hal yang agak menantang untuk bisa difilmkan. Apalagi kegemaran Brown untuk menggunakan sudut pandang benak para tokohnya dalam novelnya. Hal ini lah yang membuat film Angels and Demon, Da Vinci Code, serta Inferno menarik untuk disimak.

 

122

Sumber gambar: http://collider.com/inferno-movie-trailer/

Tom Hanks sendiri yang sudah sangat erat dengan karakter Prof. Langdon memang bisa dianggap yang paling tepat memerankannya. Namun entah mengapa ia terlihat sudah terlalu tua. Tidak enak melihat seorang kakek tua berlarian dan baku hantam untuk melarikan diri. Tapi untung saja performanya cukup apik.

Felicity Jones sendiri menurut saya membawa perannya secara sempurna. Ia bisa terlihat sangat natural. Lalu juga ada Irffan Khan dan Omar Sy yang penampilannya cukup gemilang. Mengingat mereka tak terlalu banyak mendapat kesempatan bermain di film Hollywood, untuk film ini saya cukup puas.

Untuk urusan sinematografi dan musik, tidak perlu diragukan karena yang mengendalikannya adalah Hans Zimmer. Musik sangat membantu jalannya film ini secara keseluruhan. Suasana menegangkan yang agak kurang bisa dibangun lewat visual sangat terbantu oleh musik.

Namun ada beberapa hal krusial yang sangat menjatuhkan film ini. Pertama dalam sisi naskah. Ending yang tidak sesuai dengan novel bagi sebagian orang yang sudah sangat familiar dengan novelnya tentu saja sangat mengganggu. David Koepp kurang memasukkan esensi novelnya yang dengan sukses menggambarkan efek Wabah Hitam Eropa pada abad 12-13 yang memiliki dampak mendalam. Puluhan juta orang meninggal, orang Kristen Eropa mulai mempertanyakan keberadaan Tuhan. Dari situlah Dante Alighieri mulai menulis “The Divine Comedy” yang dalam segmen “Inferno” menggambarkan dengan gamblang bagaimana neraka. Segmen yang menjadi inspirasi judul film ini.

 

123

Sumber gambar: http://collider.com/inferno-movie-trailer/

Hal ini sangat jauh berbeda dalam pandangan Bertrand Zobrist. Inferno malah menjadi inspirasi bagi penghukuman yang akan menciptakan peradaban baru. Dalam sejarah Renaissance memang menjadi dampak dari Wabah Hitam. Mungkin ini adalah versi pembentukan Renaissance dalam masa modern lewat imajinasi Zobrist.

Misteri dan cekaman yang erat sangat terasa dalam novelnya. Namun filmnya sangat gagal untuk itu. Lupakan musik Hans Zimmer. Visualnya sendiri sangat kurang menunjukkan mood film ini. Tidak terasa cekaman dan kegelapan yang ada. Hal ini diperburuk dengan Ron Howard, sang sutradara, dalam menggunakan teknik supra-narasi visual yang menjadi ciri khasnya yang sukses mengangkat “The Beautiful Mind”. Jika Howard bisa menarasikan dan memasukkan kegelapan—bukan kegelapan ala DC—seperti dalam fiml “The Beautiful Mind”, saya rasa Inferno akan lebih sukses. Tidak adalah narasi mengerikan tentang Wabah Hitam dan penjelasan-penjelasan Robert Langson tentang Divine Comedia malah membuat alur cerita kurang memberikan rasa yang sebenarnya.

Inferno bagi saya memang menjadi seri terlemah dalam seri Robert Langdon yang difilmkan. Jauh dari ekspekasi angker, misterius, dan gelap. Tidak heran bagi para pembaca novelnya banyak yang begitu kecewa dan berharap tidak menontonnya sedari awal. Namun bagi mereka yang tidak membaca novelnya, saya rasa film ini cukup memberi misteri khusus. Pada akhirnya Inferno memang cukup untuk hiburan namun tak mampu melewati batas ekspektasi saya.

6/10

Leave a comment